Selasa, 14 Juli 2009

"cinta"

mari kita berbicara soal "mengukur kadar cinta".

Cinta, adalah tema yang tak akan lekang oleh zaman. Tak akan habis dibicarakan dari masa ke masa. Tak akan bosan meskipun kisahnya diulang-ulang. Cinta memang dahsyat. Bahkan Buya Hamka pernah menulis dalam salah satu bukunya, “Cinta itu tidak menghinakan, tapi menghembuskan kegagahan. Cinta itu tidak melemahkan, tapi membangkitkan semangat”

Setiap orang tentu boleh mempersepsikan arti dan makna cinta, dan boleh berbicara apa saja tentang cinta. Tapi bagi kita sebagai seorang muslim, al-Hubb atau cinta dalam bahasa Arab tidak bisa lepas dari makna kata “Ilah” atau Tuhan. Sebagaimana yang Allah firmankan kepada kita :

“Dan diantara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah” (QS. Al-Baqarah, 2:165)

Siapa pun yang telah bersyahadat pada hakikatnya telah mengikrarkan diri bahwa “Tiada Ilah (Tuhan) yang lebih dicintai selain Allah”. Dan karena hakikat cinta selalu menunjuk pada sebuah kata, yaitu memberi. Maka konsekuensi logisnya adalah orang yang mengaku cinta harus rela memberikan segala yang dipunyai untuk yang dicintai, termasuk memberikan waktu, harta, jiwa, bahkan raga sekalipun.

Ramadhan adalah saat yang tepat untuk mengukur seberapa besar kecintaan kita kepada Allah. Di bulan inilah segala variabel external yang mengganggu hubungan kita dengan Allah sedang dibelenggu. Jadi murni tak ada penghalang. Lantas perhatikanlah kemanakah cinta terbesar kita tertumpah?

Disaat kita menerima panggilan atasan dengan segera kita merespon dan bergerak aktif. Lalu bagaimanakah saat kita menerima panggilan Allah yang mengajak pada al-falah (kemenangan)? Jadi siapakah Ilah kita yang tertinggi?

Kita selalu memiliki waktu berbicara dengan orang yang kita cintai, bahkan mencoba menyenangkannya. Lalu adakah waktu tersedia untuk bermunajat, menengadahkan tangan pada Penggenggam semesta? Padahal tengadahan tangan kita hanya untuk meminta pengabulan keperluan kita. Jadi siapakah Ilah tertinggi kita?

Saat berbicara dengan orang yang kita cintai, seluruh tubuh dan pikiran tercurah, penuh antusias. Lantas bagaimanakah saat kita berbincang dengan Allah saat shalat? Kita bahkan berani mendua dengan memikirkan selain Allah. Jadi Ilah manakah yang sebenarnya ada dalam hati kita?

Cinta adalah soal kemampuan memberi dengan rela mengorbankan apa yang kita miliki untuk yang dicinta. Bila memang saat ini ternyata cinta kita kepada Allah adalah dusta bahkan mendua. Maka ramadhan inilah saat yang tepat ketika pintu taubat dibuka seluas-luasnya. Maka istighfar adalah pintu masuknya.

Mudah-mudahan Allah yang maha menerbitkan dan memadamkan cinta, menganugerahkan kepada kita kecintaan kepada-Nya, kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Nya, dan kecintaan terhadap segala hal yang mendorong kecintaan kita kepada-Nya. Serta menjadikan kecintaan kita kepada-Nya lebih berharga daripada air segar bagi orang-orang yang kehausan. (Insan Sains)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar