Rabu, 01 Juli 2009

nyanyian dan musik(fatwa syeh yusuf Qardhawi)

Wed, 11 Apr 2007 04:52:15 -0700
Assalamu'alaikum. Semoga dapat membantu,...
HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN Dr. Yusuf Qardhawi
(1/2)
PERTANYAAN
Sebagian orang mengharamkan semua bentuk nyanyian
dengan
alasan firman Allah:
"Dan diantara nnanusia (ada) orang yang
mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan
(manusia)
dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan
jalan
Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab
yang
menghinakan." (Luqman: 6)
Selain firman Allah itu, mereka juga beralasan
pada
penafsiran para sahabat tentang ayat tersebut.
Menurut
sahabat, yang dimaksud dengan "lahwul hadits"
(perkataan
yang tidak berguna) dalam ayat ini adalah nyanyian.
Mereka juga beralasan pada ayat lain:
"Dan apabila mereka mendengar perkataan yang
tidak
bermanfaat, mereka berpaling daripadanya ..." (Al
Qashash:
55)
Sedangkan nyanyian, menurut mereka, termasuk
"laghwu"
(perkataan yang tidak bermanfaat).
Pertanyaannya, tepatkah penggunaan kedua ayat
tersebut
sebagai dalil dalam masalah ini? Dan bagaimana
pendapat
Ustadz tentang hukum mendengarkan nyanyian? Kami
mohon
Ustadz berkenan memberikan fatwa kepada saya
mengenai
masalah yang pelik ini, karena telah terjadi
perselisihan
yang tajam di antara manusia mengenai masalah ini,
sehingga
memerlukan hukum yang jelas dan tegas. Terima kasih,
semoga
Allah berkenan memberikan pahala yang setimpal
kepada
Ustadz.
JAWABAN
Masalah nyanyian, baik dengan musik maupun tanpa alat
musik,
merupakan masalah yang diperdebatkan oleh para fuqaha
kaum
muslimin sejak zaman dulu. Mereka sepakat dalam beberapa
hal
dan tidak sepakat dalam beberapa hal yang lain.
Mereka sepakat mengenai haramnya nyanyian yang
mengandung
kekejian, kefasikan, dan menyeret seseorang
kepada
kemaksiatan, karena pada hakikatnya nyanyian itu baik
jika
memang mengandung ucapan-ucapan yang baik, dan jelek
apabila
berisi ucapan yang jelek. Sedangkan setiap perkataan
yang
menyimpang dari adab Islam adalah haram. Maka
bagaimana
menurut kesimpulan Anda jika perkataan seperti itu
diiringi
dengan nada dan irama yang memiliki pengaruh kuat?
Mereka
juga sepakat tentang diperbolehkannya nyanyian yang
baik
pada acara-acara gembira, seperti pada resepsi
pernikahan,
saat menyambut kedatangan seseorang, dan pada
hari-hari
raya. Mengenai hal ini terdapat banyak hadits yang sahih
dan
jelas.
Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai
nyanyian
selain itu (pada kesempatan-kesempatan lain).
Diantara
mereka ada yang memperbolehkan semua jenis nyanyian,
baik
dengan menggunakan alat musik maupun tidak,
bahkan
dianggapnya mustahab. Sebagian lagi tidak
memperbolehkan
nyanyian yang menggunakan musik tetapi
memperbolehkannya
bila tidak menggunakan musik. Ada pula yang melarangnya
sama
sekali, bahkan menganggapnya haram (baik menggunakan
musik
atau tidak).
Dari berbagai pendapat tersebut, saya cenderung
untuk
berpendapat bahwa nyanyian adalah halal, karena asal
segala
sesuatu adalah halal selama tidak ada nash sahih
yang
mengharamkannya. Kalaupun ada dalil-dalil yang
mengharamkan
nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas) tetapi
tidak
sahih, atau sahih tetapi tidak sharih. Antara lain
ialah
kedua ayat yang dikemukakan dalam pertanyaan Anda.
Kita perhatikan ayat pertama:
"Dan diantara manusia (ada) orang yang
mempergunakan
perkataan yang tidak berguna ..."
Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan
tabi'in
untuk mengharamkan nyanyian.
Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah
sebagaimana
yang dikemukakan Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla.
Ia
berkata: "Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan
dilihat
dari beberapa segi:
Pertama: tidak ada hujah bagi seseorang selain
Rasulullah
saw. Kedua: pendapat ini telah ditentang oleh
sebagian
sahabat dan tabi'in yang lain. Ketiga: nash ayat ini
justru
membatalkan argumentasi mereka, karena
didalamnya
menerangkan kualifikasi tertentu:
"'Dan diantara manusia (ada) orang yang
mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untulc menyesatkan
(manusia)
dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan
jalan
Allah itu olok-olokan ..."
Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat
ini,
maka ia dikualifikasikan kafir tanpa diperdebatkan
lagi.
Jika ada orang yang membeli Al Qur'an (mushaf)
untuk
menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya
bahan
olok-olokan, maka jelas-jelas dia kafir. Perilaku
seperti
inilah yang dicela oleh Allah. Tetapi Allah sama
sekali
tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan
yang
tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya -
bukan
untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Demikian
juga
orang yang sengaja mengabaikan shalat karena sibuk
membaca
Al Qur'an atau membaca hadits, atau bercakap-cakap,
atau
menyanyi (mendengarkan nyanyian), atau lainnya, maka
orang
tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah.
Lain
halnya jika semua itu tidak menjadikannya
mengabaikan
kewajiban kepada Allah, yang demikian tidak apa-apa
ia
lakukan."
Adapun ayat kedua:
"Dan apabila mereka mendengar perkataan yang
tidak
bermanfaat, mereka berpaling daripadanya ..."
Penggunaan ayat ini sebagai dalil untuk
mengharamkan
nyanyian tidaklah tepat, karena makna zhahir "al
laghwu"
dalam ayat ini ialah perkataan tolol yang berupa caci
maki
dan cercaan, dan sebagainya, seperti yang kita lihat
dalam
lanjutan ayat tersebut. Allah swt. berfirman:
"Dan apabila mereka mendengar perkataan yang
tidak
bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka
berkata:
"Bagi kami amal-amal kami dan bagimu
amal-amalmu,
kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul
dengan
orang-orang jahil." (A1 Qashash: 55)
Ayat ini mirip dengan firman-Nya mengenai
sikap
'ibadurrahman (hamba-hamba yang dicintai Allah Yang
Maha
Pengasih):
"... dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka,
mereka
mengucapkan kata-kata yang baik." (Al Furqan: 63)
Andaikata kita terima kata "laghwu" dalam ayat
tersebut
meliputi nyanyian, maka ayat itu hanya menyukai
kita
berpaling dari mendengarkan dan memuji nyanyian,
tidak
mewajibkan berpaling darinya.
Kata "al laghwu" itu seperti kata al bathil, digunakan
untuk
sesuatu yang tidak ada faedahnya, sedangkan
mendengarkan
sesuatu yang tidak berfaedah tidaklah haram selama
tidak
menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.
Diriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa Rasulullah
saw.
memperbolehkan mendengarkan sesuatu. Maka ditanyakan
kepada
beliau: "Apakah yang demikian itu pada hari kiamat
akan
didatangkan dalam kategori kebaikan atau keburukan?"
Beliau
menjawab, "Tidak termasuk kebaikan dan tidak pula
termasuk
kejelekan, karena ia seperti al laghwu, sedangkan
Allah
berfirman:
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu
yang
tidak dimaksud (untuk bersumpah) ..." (Al Ma'idah: 89)
Imam Al Ghazali berkata: "Apabila menyebut nama Allah
Ta'ala
terhadap sesuatu dengan jalan sumpah tanpa mengaitkan
hati
yang sungguh-sungguh dan menyelisihinya karena tidak
ada
faedahnya itu tidak dihukum, maka bagaimana akan
dikenakan
hukuman pada nyanyian dan tarian?"
Saya katakan bahwa tidak semua nyanyian itu laghwu,
karena
hukumnya ditetapkan berdasarkan niat pelakunya. Oleh
sebab
itu, niat yang baik menjadikan sesuatu yang laghwu
(tidak
bermanfaat) sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah)
dan
al mizah (gurauan) sebagai ketaatan. Dan niat yang
buruk
menggugurkan amalan yang secara zhahir ibadah tetapi
secara
batin merupakan riya'. Dari Abu Hurairah r.a.
bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu, tetapi
ia
meIihat hatimu." (HR Muslim dan Ibnu Majah)
Baiklah saya kutipkan di sini perkataan yang
disampaikan
oleh Ibnu Hazm ketika beliau menyanggah pendapat
orang-orang
yang melarang nyanyian. Ibnu Hazm berkata:
"Mereka
berargumentasi dengan mengatakan: apakah nyanyian
itu
termasuk kebenaran, padahal tidak ada yang ketiga?1
Allah
SWT berfirman:
"... maka tidak ada sesudah kebenaran itu,
melainkan
kesesatan ..." (Yunus, 32)
Maka jawaban saya, mudah-mudahan Allah memberi taufiq,
bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat,
dan
sesungguhnya tiap-tiap orang (mendapatkan) apa yang
ia
niatkan."
Oleh karenanya barangsiapa mendengarkan nyanyian dengan
niat
mendorongnya untuk berbuat maksiat kepada Allah
Ta'ala
berarti ia fasik, demikian pula terhadap selain
nyanyian.
Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk
menghibur
hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla
dan
menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia
adalah
orang yang taat dan baik, dan perbuatannya itu
termasuk
dalam kategori kebenaran. Dan barangsiapa yang tidak
berniat
untuk taat juga tidak untuk maksiat, maka
mendengarkan
nyanyian itu termasuk laghwu (perbuatan yang
tidak
berfaedah) yang dimaafkan. Misalnya, orang yang pergi
ke
taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya
dengan
membuka kancing baju, mencelupkan pakaian untuk
mengubah
warna, meluruskan kakinya atau melipatnya,
dan
perbuatan-perbuatan sejenis lainnya."2
Adapun hadits-hadits yang dijadikan landasan oleh pihak
yang
mengharamkan nyanyian semuanya memiliki cacat, tidak
ada
satu pun yang terlepas dari celaan, baik mengenai
tsubut
(periwayatannya) maupun petunjuknya, atau kedua-duanya.
Al
Qadhi Abu Bakar Ibnu Arabi mengatakan di dalam kitabnya
Al
Hakam: "Tidak satu pun hadits sahih yang
mengharamkannya."
Demikian juga yang dikatakan Imam Al Ghazali dan Ibnu
Nahwi
dalam Al Umdah. Bahkan Ibnu Hazm berkata: "Semua
riwayat
mengenai masalah (pengharaman nyanyian) itu batil
dan
palsu."
Apabila dalil-dalil yang mengharamkannya telah gugur,
maka
tetaplah nyanyian itu atas kebolehannya sebagai hukum
asal.
Bagaimana tidak, sedangkan kita banyak mendapati nash
sahih
yang menghalalkannya? Dalam hal ini cukuplah saya
kemukakan
riwayat dalam shahih Bukhari dan Muslim bahwa Abu
Bakar
pernah masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi saw.,
ketika
itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi,
lalu
Abu Bakar menghardiknya seraya berkata: "Apakah pantas
ada
seruling setan di rumah Rasulullah?" Kemudian
Rasulullah
saw. menimpali:
"Biarkanlah mereka, wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari
ini
adalah hari raya."
Disamping itu, juga tidak ada larangan menyanyi pada
hari
selain hari raya. Makna hadits itu ialah bahwa hari
raya
termasuk saat-saat yang disukai untuk melahirkan
kegembiraan
dengan nyanyian, permainan, dan sebagainya yang
tidak
terlarang.
Akan tetapi, dalam mengakhiri fatwa ini tidak lupa
saya
kemukakan beberapa (ikatan) syarat yang harus dijaga:
1. Tema atau isi nyanyian harus sesuai dengan ajaran dan
adab
Islam. Nyanyian yang berisi kalimat "dunia adalah
rokok dan
gelas arak" bertentangan dengan ajaran Islam yang
telah
menghukumi arak (khamar) sebagai sesuatu yang keji,
termasuk
perbuatan setan, dan melaknat peminumnya, pemerahnya,
penjualnya, pembawa (penghidangnya), pengangkutnya,
dan
semua orang yang terlibat di dalamnya. Sedangkan
merokok itu
sendiri jelas menimbulkan dharar.
Begitupun nyanyian-nyanyian yang seronok serta
memuji-muji
kecantikan dan kegagahan seseorang, merupakan nyanyian
yang
bertentangan dengan adab-adab Islam sebagaimana
diserukan
oleh Kitab Sucinya:
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
Hendaklah
mereka menahan pandangannya ..." (An Nur: 30)
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah
mereka
menahan pandangannya ..." (An Nur: 31)
Dan Rasulullah saw. bersabda:
"Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan yang satu
dengan pandangan yang lain. Engkau hanya boleh
melakukan
pandangan yang pertama, sedang pandangan yang kedua
adalah
risiko bagimu." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
Demikian juga dengan tema-tema lainnya yang tidak
sesuai
atau bertentangan dengan ajaran dan adab Islam.
2. Penampilan penyanyi juga harus dipertimbangkan.
Kadang-kadang syair suatu nyanyian tidak "kotor,"
tetapi
penampilan biduan/biduanita yang menyanyikannya ada
yang
sentimentil, bersemangat, ada yang bermaksud
membangkitkan
nafsu dan menggelorakan hati yang sakit, memindahkan
nyanyian dari tempat yang halal ke tempat yang haram,
seperti yang didengar banyak orang dengan
teriakan-teriakan
yang tidak sopan.
Maka hendaklah kita ingat firman Allah mengenai
istri-istri
Nabi saw.:
"Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yeng ada penyakit dalam hatinya
..."
(Al Ahzab: 32)
3. Kalau agama mengharamkan sikap berlebih-lebihan dan
israf
dalam segala sesuatu termasuk dalam ibadah, maka
bagaimana
menurut pikiran Anda mengenai sikap berlebih-lebihan
dalam
permainan (sesuatu yang tidak berfaedah) dan menyita
waktu,
meskipun pada asalnya perkara itu mubah? Ini
menunjukkan
bahwa semua itu dapat melalaikan hati manusia dari
melakukan
kewajiban-kewajiban yang besar dan memikirkan tujuan
yang
luhur, dan dapat mengabaikan hak dan menyita
kesempatan
manusia yang sangat terbatas. Alangkah tepat dan
mendalamnya
apa yang dikatakan oleh Ibnul Muqaffa': "Saya tidak
melihat
israf (sikap berlebih-lebihan) melainkan disampingnya
pasti
ada hak yang terabaikan."
Bagi pendengar - setelah memperhatikan ketentuan
dan
batas-batas seperti yang telah saya kemukakan -
hendaklah
dapat mengendalikan dirinya. Apabila nyanyian
atau
sejenisnya dapat menimbulkan rangsangan dan
membangkitkan
syahwat, menimbulkan fitnah, menjadikannya tenggelam
dalam
khayalan, maka hendaklah ia menjauhinya. Hendaklah
ia
menutup rapat-rapat pintu yang dapat menjadi
jalan
berhembusnya angin fitnah kedalam hatinya, agamanya,
dan
akhlaknya.
Tidak diragukan lagi bahwa syarat-syarat
atau
ketentuan-ketentuan ini pada masa sekarang sedikit
sekali
dipenuhi dalam nyanyian, baik mengenai jumlahnya,
aturannya,
temanya, maupun penampilannya dan kaitannya dengan
kehidupan
orang-orang yang sudah begitu jauh dengan agama, akhlak,
dan
nilai-nilai yang ideal. Karena itu tidaklah layak
seorang
muslim memuji-muji mereka dan ikut mempopulerkan
mereka,
atau ikut memperluas pengaruh mereka. Sebab dengan
begitu
berarti memperluas wilayah perusakan yang mereka lakukan.
Karena itu lebih utama bagi seorang muslim untuk
mengekang
dirinya, menghindari hal-hal yang syubhat, menjauhkan
diri
dari sesuatu yang akan dapat menjerumuskannya ke
dalam
lembah yang haram - suatu keadaan yang hanya
orang-orang
tertentu saja yang dapat menyelamatkan dirinya.
Barangsiapa yang mengambil rukhshah (keringanan),
maka
hendaklah sedapat mungkin memilih yang baik, yang
jauh
kenmungkinannya dari dosa. Sebab, bila mendengarkan
nyanyian
saja begitu banyak pengaruh yang ditimbulkannya,
maka
menyanyi tentu lebih ketat dan lebih khawatir, karena
masuk
ke dalam lingkungan kesenian yang sangat membahayakan
agama
seorang muslim, yang jarang sekali orang dapat lolos
dengan
selamat (terlepas dari dosa).
Khusus bagi seorang wanita maka bahayanya jelas jauh
lebih
besar. Karena itu Allah mewajibkan wanita agar
memelihara
dan menjaga diri serta bersikap sopan dalam
berpakaian,
berjalan, dan berbicara, yang sekiranya dapat
menjauhkan
kaum lelaki dari fitnahnya dan menjauhkan mereka
sendiri
dari fitnah kaum lelaki, dan melindunginya dari
mulut-mulut
kotor, mata keranjang, dan keinginan-keinginan buruk
dari
hati yang bejat, sebagaimana firman Allah:
"Hai Nabi katakanIah kepada istri-istrimu,
anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah
mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.'
Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena
itu mereka tidak diganggu ..." (Al Ahzab: 59)
"... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit di dalam
hatinya
..." (Al Ahzab: 32)
Tampilnya wanita muslimah untuk menyanyi berarti
menampilkan
dirinya untuk memfitnah atau difitnah, juga
berarti
menempatkan dirinya dalam perkara-perkara yang haram.
Karena
banyak kemungkinan baginya untuk berkhalwat
(berduaan)
dengan lelaki yang bukan mahramnya, misalnya dengan
alasan
untuk mengaransir lagu, latihan rekaman, melakukan
kontrak,
dan sebagainya. Selain itu, pergaulan antara pria dan
wanita
yang ber-tabarruj serta berpakaian dan bersikap
semaunya,
tanpa menghiraukan aturan agama, benar-benar haram
menurut
syariat Islam.
Catatan kaki
1 Maksudnya, tidak ada kategori alternatif selain
kebenaran
dan kesesatan, (ed.)
2 Ibnu Hazm, Al Muhalla.
----------------------- (Bagian
1/2)
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar