Sabtu, 01 Agustus 2009

Agar TermotivasiI Belajar Ilmu Syar’i

1. Ikhlas Karena Allah.
Sarana terbesar untuk memotivasi seseorang belajar ilmu syar’i adalah niat yang ikhlas dan jujur kepada Allah. Orang yang belajar karena Allah semata, akan mendapatkan pertolongan Allah, sehingga semangatnya terus berkobar. Imam Ibnu Jamaah rahima-hullah menegaskan tentang ikhlas: “Hendaknya dalam belajar ia memaksudkan hanya untuk mengharapkan ridha Allah, mengamalkannya, meng-hidupkan syari’ah-Nya, menerangi hatinya, menghiasi batinnya dan untuk mendapatkan janji Allah bagi para ahli ilmu. Sebaliknya, tidak untuk mendapatkan hal-hal duniawi, seperti kepemimpinan, jabatan, harta, dan pujian manusia !
Jika seseorang merasa kurang ikhlas, maka jangan lantas berhenti menuntut ilmu, tetapi wajib memaksa dirinya untuk ikhlas karena Allah, berusaha terus memperbaiki niat dan membersihkannya. Bila dia benar-benar jujur kepada Allah untuk mencapai keikhlasan, insya Allah ia akan dimudahkan Allah.
2. Mengenal Perjuangan Ulama Salaf Dalam Menuntut Ilmu.
Imam Syafi’i rahimahullah pernah ditanya, “Bagaimana hasrat tuan ter-hadap ilmu?”Beliau manjawab, “Saya seperti mendengar kata-kata yang tidak pernah saya dengar. Saya bahkan ingin agar saya punya banyak pendengaran, supaya bisa menikmati seperti yang dinikmati oleh kedua telinga saya”. “Bagaimana kerakusan anda terhadap ilmu?” Beliau menjawab,“Seperti rakusnya pencari harta yang mencapai puncak kenikmatan karena hartanya.’ ‘Bagaimana tuan mencari ilmu?’ beliau menjawab ‘Seperti seorang ibu yang bingung mencari anaknya, yang semata wayang’. Ibnu Asakir dalam menceritakan Abu Manshur Muhammad bin Husain An-Naisaburi berkata, ‘Beliau terus bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, meski dalam kondisi fakir. Bahkan beliau meng-ulangi dan menulis pelajarannya di bawah sinar rembulan, karena tidak mampu membeli minyak lampu.’
Ibnu Katsir berkata, ‘Ilmu tidak bisa diperoleh dengan leha-leha.’ Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi berkata, ‘Untuk menuntut ilmu hadits, saya mengalami kencing darah dua kali, pertama di Baghdad dan kedua di Makkah. Hal itu karena saya berjalan dengan kaki telanjang di tengah sengatan terik matahari. Saya tidak pernah naik kendaraan saat mencari hadits kecuali sekali, dan saya selalu membawa kitab-kitab di punggung saya.’ Sementara Imam Baqi bin Mukhallad Al-Andalusi pada tahun 221H berjalan kaki dari Andalus (Spanyol) ke Baghdad untuk menemui dan belajar kepada Imam Ahmad.
3.Mengetahui Penyesalan Ulama Salaf Atas Hilangnya Kesempatan Menuntut Ilmu.
Ahmad bin Ibrahim Al-Abbas berkata, ‘Ketika sampai berita wafatnya Imam Muhammad Ar-Razi, saya masuk kamar dan menangis. Keluargaku mengerumuniku dan bertanya, ‘Apa yang menimpamu?’ ‘Imam Muhammad Ar-Razi telah wafat, kalian melarangku ke sana untuk menuntut ilmu,’ jawab-ku. Akhirnya mereka mengizinkanku mencari ilmu kepada Syaikh Hasan bin Sinan.’ Abu Ali Al-Farisi berkata: ‘Terjadi kebakaran besar di Baghdad, semua kitabku terbakar, padahal saya menulisnya dengan kedua tanganku. Selama dua bulan saya tidak kuasa berbicara dengan seorang pun, karena kesedihan dan duka yang dalam, bahkan beberapa saat saya dalam keadaan linglung.’ Imam Syu’bah bin Al-Hajjaj berkata, ‘Saya ingat, saya pernah ketinggalan tidak mendengar satu hadits dari Syaikh saya, sehingga saya sakit (karena sangat menyesal dan sedih akibat ketinggalan tersebut).
4. Mengetahui Bagaimana Para Ulama Salaf Tidak Tidur Untuk Menuntut Ilmu.
Dikisahkan, Imam Asad bin Al-Furat melakukan perjalanan ke Iraq un-tuk belajar kepada Syaikh Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani Rahimahullaah. Imam Asad berkata, “Saya orang asing dan bekalku hanya sedikit, bagaimana agar saya bisa belajar lebih dari sekedar mengikuti kajian tuan?” Syaikh Asy-Syaibani menjawab, “Tetaplah ikut kajian pada siang hari, dan saya khususkan waktu malam untuk mengajarimu sendirian. Menginaplah di rumahku dan kamu akan saya ajari ilmu’. Imam Asad berkata, “Maka saya pun menginap di rumah beliau, beliau mendatangiku dengan membawa seember air. Beliau lalu membacakan ilmu untukku, jika malam telah larut dan aku mengantuk, beliau mengambil air dan memercikkannya ke mukaku, sehingga saya bersemangat lagi. Demikian terus berlalu, sehingga saya selesai belajar ilmu apa saja yang saya inginkan.”
Abul Qasim Al-Muqri’ berkata, Imam Al-Hazimi senantiasa menelaah kitab dan mengarang hingga terbit fajar. Seseorang kemudian berkata kepada pembantunya, ‘Jangan kamu berikan minyak untuk pelitanya, barangkali beliau istirahat malam itu.’ Ketika malam tiba, Imam Al-Hazimi meminta minyak kepada pembantunya. Lalu dijawab, minyaknya telah habis. Imam Al-Hazimi lalu masuk ke rumahnya dan shalat di dalam kegelapan malam sampai terbit fajar.’
5. Menjauhi Teman-Teman Yang Malas.
Di antara pembunuh semangat belajar ilmu syar’i adalah berteman dengan orang-orang ahli maksiat. Tidak kalah bahayanya adalah bergaul dengan orang-orang yang malas serta enggan melakukan kegiatan positif dan bermanfaat. Abu Hurairahzberkata, Rasulullah Shallallaahu alaihi wasalam bersabda: “Seseorang itu tergantung agama kawannya. Karena itu, hendaknya salah seorang dari kamu melihat siapa temannya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
6. Merasakan Bahwa Anda Terus Berperang dengan Setan.
Setan adalah musuh bebuyutan anak cucu Adam. Mereka menghalangi setiap muslim dari menjalankan kebaikan, termasuk mencari ilmu. Di antara cara setan dalam menghalangi manusia dari mencari ilmu syar’i adalah:
Pertama, menunda-nunda belajar. Setiap kali seseorang ingin mempelajari ilmu dan membaca, setan membisikinya dengan mengatakan, tunda saja besok pagi, sekarang waktunya tidak tepat. Demikian dilakukan setan setiap saat, sampai orang itu menjadi tua, dan tidak berkesempatan mempelajari agamanya.
Kedua, dibisiki bahwa ilmu syar’i tidak akan bisa mengubah sesuatu pun bagi kondisinya sekarang. Argumen ini dapat kita bantah dengan melihat keadaan para pembaharu dan ulama Salaf. Seperti yang terjadi pada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab. Senjata mereka dalam memperbaiki keadaan adalah hujjah (dalil) dan ilmu.
Ketiga, membisiki bahwa dirinya tidak akan mampu belajar ilmu syar’i. Apalagi jika yang bersangkutan adalah orang awam yang baru saja bertaubat kepada Allah. Ia merasa tidak bisa menuntut ilmu agama karena terbiasa dengan kemaksiatan dan kemalasan. Ia merasa sulit menghilangkan masa lalunya, sehingga sulit pula belajar ilmu syar’i.
Untuk mengobati penyakit ini ada dua hal penting yang harus diingat, pertama, merubah kebiasaan masa lalu yang buruk menjadi kebiasaan yang terpuji dengan terus melawan hawa nafsu dan membiasakan kebaikan, dan kedua, hendaknya ia merenungkan keadaan para penuntut ilmu. Di antara mereka dahulunya ada orang-orang yang sesat, kemudian Allah menganugerahkan hidayah dan istiqamah kepada mereka, maka mereka menjadi giat menuntut ilmu. Mengapa ia tidak berusaha seperti mereka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar