Minggu, 02 Agustus 2009

Penguasa Boneka

Memanasnya isu Ambalat, yang secara kasatmata melibatkan Indonesia dengan Malaysia, tidak bisa dilihat sebagai konflik antara Indonesia dan Malaysia.
Ambalat adalah blok kaya minyak. Produksinya, menurut sumber resmi Kementerian ESDM, diperkirakan sekitar 30.000-40.000 barel perhari. Bahkan kawasan perairan Ambalat ini, menurut ahli geologi dari lembaga konsultan Exploration Think Tank Indonesia (ETTI), Andang Bachtiar, mengandung cadangan minyak yang luar biasa. Satu titik tambang di Ambalat menyimpan cadangan potensial 764 juta barel minyak dan 1,4 triliun kaki kubik gas. “Itu baru satu titik dari sembilan titik yang ada di Ambalat,” ujarnya (Tempo interaktif, 2/6/2009).
Dari situlah semuanya bermula. Petronas, perusahaan minyak milik Malaysia, memberikan konsesi pengeboran minyak di Blok Ambalat kepada Shell (perusahaan milik Inggris dan Belanda) 15 Februari 2005. Indonesia sendiri, menurut Marty Natalegawa, Jubir Deplu kala itu, sudah memberikan konsesi kepada beberapa perusahaan minyak dunia di lokasi ini sejak tahun 1960-an, antara lain kepada Total Indonesie untuk Blok Bunyu sejak 1967 yang dilanjutkan dengan konsesi kepada Hadson Bunyu BV pada 1985. Konsesi lainnya diberikan kepada Beyond Petroleum (BP) untuk Blok North East Kalimantan Offshore dan ENI Bukat Ltd. Italia untuk Blok Bukat pada 1988.
Jadi, perairan Ambalat, yang terdiri atas tiga blok—East Ambalat (dikelola Chevron-AS), Ambalat (ENI Lasmo-Italia) dan Bougainvillea—secara bisnis dan ekonomi memang sangat menggiurkan. Lalu siapa yang diuntungkan dari konflik ini? Jelas bukan Malaysia dan Indonesia, tetapi negara-negara penjajah seperti AS, Inggris, Belanda dan Italia. Karena itu, konflik Ambalat ini sejatinya adalah konflik kepentingan negara-negara penjajah itu. Hanya saja, mereka tidak berhadap-hadapan secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan para penguasa boneka, baik di Indonesia maupun Malaysia.
Di Pakistan, kita menyaksikan bagaimana para penguasa boneka Barat digunakan untuk membumihanguskan rakyatnya sendiri di Lembah Swat. Di negeri tetangganya, Afganistan, para penguasa boneka itu bahu-membahu dengan tentara NATO dan AS untuk melawan rakyat Afganistan yang tergabung dalam gerakan Taliban.
Di Somalia, Syeikh Syarif Ahmad yang kemarin menjadi mitra partai Islam dan para pemuda Mujahidin dalam peperangan menghadapi pemerintah yang loyal kepada Amerika dan pasukan Ethiopia, kini harus berbalik arah. Sang boneka itu pun berhasil dibeli oleh Amerika dan kini harus memerangi kedua kelompok yang sebelumnya berjuang bersamanya.
Para tentara penguasa boneka Arab seperti Mesir, Suriah dan Arab Saudi juga sama. Mereka telah berperang di pihak Amerika dalam Perang Teluk, dengan alasan membebaskan Kuwait dari pendudukan Irak, yang dianggap orang-orang asing. Penguasa boneka di Irak sendiri juga telah memerangi kelompok perlawanan Kurdi. Bahkan setelah pendudukan Amerika di Irak, penguasa boneka itu pun memerangi para Mujahidin di Irak. Ironisnya, mereka sama sekali tidak berusaha memerangi Amerika, Inggris dan sekutunya.
Di Palestina juga demikian. Aparat keamanan Palestina yang kemarin menjadi mitra kelompok perlawanan dan pemerintah, kini harus berhadap-hadapan. Ironisnya, mereka tidak sungguh-sungguh melakukan perlawanan terhadap Israel.
Iran juga sama. Para penguasa boneka di negeri mullah itu membantu Amerika di Irak dan Afganistan.
Sesungguhnya Amerika, Inggris dan negara-negara penjajah telah menggunakan negeri-negeri tersebut berikut para tentaranya untuk menceburkan diri dalam medan peperangan dengan menjadi bonekanya di wilayah-wilayah tersebut.
-
lanjut:http://hizbut-tahrir.or.id/200... /

Tidak ada komentar:

Posting Komentar