Sabtu, 01 Agustus 2009

Dalil-Dalil Ulama Salafus-Shalih yang Membolehkan Nyanyian dan Musik

Hadits yang paling terkenal dan yang sering dikemukakan untuk mendukung pendapat para Ulama yang mengharamkan musik adalah hadits ini, mari sekarang kita bahas secara rinci, lafzh-nya adalah sebagai berikut:
ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر و الحرير و الخمر و المعازف
Ada iqamatul-hujjah kami berkaitan dengan hadits ini adalah: pertama bahwa ia merupakan hadits yang mu’allaq, yang kedua secara sanad-nya terdapat idhthiraab, yang ketiga secara matan juga terdapat idhthiraab dalam maknanya, yang keempat ia bertentangan dengan hadits lainnya yang lebih shahih daripadanya. Semua hal tersebut akan aku (Syaikh Al-Qaradhawi –pen) jelaskan satu-persatu, bi idzniLLAAHi Ta’ala.
Yang pertama, hadits ini dikutip oleh Imam Bukhari dalam kitabnya secara mu’allaq[1] dari Hisyam bin Ammar dengan rangkaian sanad-nya sampai kepada Abu Amir atau Abu Malik Al-Asy’Ariy RA yang mendengarnya dari Nabi SAW[2]. Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahuLLAAH- telah berusaha keras untuk membantu menyambung sanad hadits ini, demikian pula Imam Ibnu Qayyim dan usaha terakhir dilakukan oleh Syaikh Albani –rahimahuLLAAH- dalam kitabnya Ash-Shahihah. Namun karena status mu’allaq-nya itulah Imam Bukhari tidak memasukkannya dalam shahih-nya secara musnad-muttashil[3], melainkan hanya sebagai ta’liq saja.
Yang kedua berkaitan dengan idhthiraab[4] dalam sanad-nya, dalam sanad hadits ini terdapat Hisyam bin Ammar[5], marilah ana kemukakan siapa beliau dan komentar para muhaddits yang melemahkannya. Ia adalah seorang khatib di kota Damsyiq, ahli Qur’an dan ahli Hadits yang diakui sebagai tsiqah oleh Ibnu Ma’in (Yahya bin Ma’in) dan Al-Ajali.
Imam Abu Daud berkata tentangnya: Hisyam telah meriwayatkan 400 hadits yang tidak ada dasarnya sama sekali[6]; berkata Abu Hatim: ia adalah seorang yang benar tapi berubah diakhir hayatnya[7] dimana ia menerima hadits tanpa diperiksa[8], demikian juga pendapat Ibnu Sayyar; berkata Imam Ahmad: Tindakannya sedikit tidak menentu[9]; berkata An-Nasa’I: Ia tidak mengapa (la ba’sa bihi, perkataan ini maknanya bukan berarti tsiqah tapi malah tersirat ada sedikit kekurangan padanya)[10]; berkata Adz-Dzahabi: ia seorang yang benar, banyak meriwayatkan hadits tapi ada pula yang munkar[11]. Sebagian ulama yang lain juga tidak menyenanginya karena ia tidak akan mengajarkan hadits kecuali dengan diberi upah[12], demikianlah[13].
Kalau dikatakan: Tapi ia adalah perawi hadits Al-Bukhari! Maka kujawab: Benar, tapi dialah yang menjadi puncak Imam Bukhari dikritik hebat oleh para ulama muhadditsin lainnya, sehingga Imam Ibnu Hajar membela Imam Bukhari[14], setelah ia menyebut satu-persatu komentar para pengkritik Hisyam, Ibnu Hajar berkata bahwa beliau (Imam Bukhari) hanya mengemukakan 2 hadits saja dari Hisyam, kemudian ia menyebutkan sokongan (muttaabi’) atas hadits Hisyam (yang di-takhrij oleh Imam Bukhari tersebut) dari sanad yang lain.
Oleh karena itu aku (Syaikh Al-Qaradhawi) berkata: Perawi seperti ini haditsnya tidak patut diterima, apalagi dalam hal yang hukumnya masih menjadi pertikaian seperti masalah musik ini [15]. SEKIAN
Masih ada pertanyaan: Tapi Syaikh Al-bani –rahimahuLLAAH- telah menyebutkan dalam kitabnya Ash-Shahihah tentang sanad dari jalur selain Hisyam untuk memperkuat masalah ini! Kukatakan: Benar, bahkan Imam Ibnu Hajar sebelumnya juga telah berusaha menyambung sanad yang mu’allaq ini dalam kitabnya yang lain Taghliqu Ta’liq, tetapi dalam sanad-nya ada seorang perawi yang lebih dha’if dari Hisyam yaitu Malik bin Abu Maryam, Imam Ibnu Hazm dan Imam Adz-Dzahabi berkata tentangnya: Dia tidak dikenali.
Maka riwayat-riwayat hadits ini tidak dapat mengangkatnya ke derajat hadits yang disepakati karena ia masih mengandung keraguan. Imam Ibnul Qayyim telah berusaha juga untuk menguatkan hadits ini dari jalan yang lain, ia berkata: Abu Daud telah meriwayatkan hadits ini dalam sunan-nya secara maushul[16]. Saya berkata: Ini memang benar, tetapi ia tidak bermanfaat karena sanad-nya dha’if, selain itu dalam riwayatnya tidak menyebut lafzh ma’azif yang menjadi puncak perselisihan kita. Abu Daud menyebutnya dalam kitab Al-Asyribah (minuman) berkenaan dengan Ad-Daazi[17], sama sekali tidak menyebut tentang ma’azif.
Tinggallah hadits Hisyam yang sudah kita bahas di atas. Kalaupun anda masih ingin membelanya, maka kukatakan bahwa ia juga meriwayatkan dari Shadaqah bin Khalid, beliau inipun diperbincangkan pula oleh sebagian ulama. Asy Syaukani dalam Naylul-Authar[18] berkata: Ibnu Junaid menceritakan dari Yahya bin Ma’in tentangnya (Shadaqah): Dia tidak punya apa-apa; Al-Muzzi meriwayatkan dari Imam Ahmad, katanya: Ia bukan seorang yang istiqamah[19].
Oleh karenanya aku (Syaikh Al-Qaradhawi) berkata: Disebabkan karena amanah dan keilmuannya yang amat tinggi itulah maka Imam Bukhari hanya menyebutkan hadits ma’azif ini secara mu’allaq saja dan ia tidak pernah mau menyebutnya secara muttashil di bagian manapun dari kitab-kitabnya (padahal Hisyam tersebut adalah perawi yang beliau terima). Demikian pula ia menamakan bab-nya dengan: “Hadits Berkenaan Orang yang Menghalalkan Arak dan Menamakannya dengan nama yang Lain”, dan tidak pernah menyebutnya dengan: “Hadits tentang Haramnya Nyanyian”, malah ia tidak pernah menyebut satu bab-pun dalam keseluruhan kitabnya tentang haramnya lagu atau nyanyian[20].
Lalu hujjah yang ketiga, idhthiraab dari sisi matan-nya ialah berkaitan dengan wajhu-dilalah dari hadits ini, pembahasannya adalah sebagai berikut. Kalaupun ada yang masih menerima ber-hujjah dengan hadits ini, maka ketahuilah bahwa makna ma’azif ini berlain-lainan, ada yang mengartikannya al-malahi (alat-alat hiburan) ada pula yang mengartikannya alatul ‘azfi (alat musik yang bertali)[21], kemudian makna yastahilluna ini juga bisa mengandung 2 makna yaitu menghalalkan dan yang kedua melakukan sesuatu secara berlebih-lebihan, dan menurutku karena jika dimaknai menghalalkan maka akan menjadikan pelakunya kafir tanpa khilaf, karena disandingkan dengan menghalalkan khamr dan siapa yang mengharamkan khamr maka ia kufur tanpa khilaf, sementara tidak ada satupun para ulama yang mengkafirkan orang yang menghalalkan musik.
Lalu jikapun masih kita terima juga bahwa maknanya adalah haramnya musik, maka timbul lagi pertanyaan apakah haramnya karena dirinya sendiri (haram li dzatihi) atau karena ia dilakukan sambil minum-minuman keras (haram li ghairihi)? Maka untuk mengkompromikannya dengan semua pembahasan kita di atas, maka menurutku ia lebih rajih menjadi haram li ghairihi. waLLAAHu a’lam..
(Bersambung insya ALLAAH Ta’ala…)
___
Catatan Kaki:
[1] Hadits mu’allaq ialah hadits yang perawinya ada seorang atau lebih telah putus dari awal sanad-nya dan yang dimaksud awal sanad disini ialah pihak mushannif atau muhaddits seperti Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, dll (-pen)
[2] Rangkaian lengkap sanad-nya adalah: Dari Shadaqah bin Khalid dari AbdiRRAHMAN bin Yazid bin Jabir dari ‘Athiyyah bin Qays Al-Kilaby dari AbdiRRAHMAN bin Ghanim Al-Asy’ariy dari Abu Amir atau Abu Malik Al-Asy’ariy RA (-pen)
[3] Hadits musnad-muttashil ialah hadits yang rangkaian perawi hadits-nya lengkap dari setiap thabaqat (tingkatan) sampai kepada Nabi SAW (-pen)
[4] Idhthiraab ialah terjadinya kegoncangan pada sanad atau matan-nya, bisa karena ada syudzudz (keanehan) pada matan-nya ataupun ada seorang rawi yang diperselisihkan, sehingga para muhaddits tidak sepakat mengenai shahih atau dha’if-nya (-pen)
[5] Lih. Juga komentar Imam Ibnu Hajar atas dirinya dalam kitab Taghliq At-Ta’liq, V/17-22
[6] Syarh ‘Ilal At-Turmudzi, I/62; Saya (Abi AbdiLLAAH) menambahkan: Yang saya temukan perkataan ini dasarnya dari Imam Az-Zuhri, lih. Al-Ilma’ Ila ma’rifati Ushuli Riwayati wa Taqyid As-Sima’, Al-Qadhi ‘Iyadh, I/243 serta Ar-Rawiy wal Wa’ie, Ar-Ramharmazi, I/397
[7] ‘Ilalul Hadits, Ibnu Abi Hatim, II/4
[8] Ibid, II/33 dan juga II/135
[9] Mausu’ah Aqwal Imam Ahmad Ibni Hanbal Fil Jarh wa Ta’dil, IX/103; As-Su’alat, hal 247
[10] Mausu’ah Aqwal Daraquthni, harfu Mim XXXi/72
[11] Ialah hadits hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah dalam keadilan (al-‘adl) dan dalam ingatan (adh-dhabt)
[12] Manhaj Imam Al-Bukhari, I/80
[13] Saya (Abi AbduLLAAH) menambahkan: Ulama lainnya yang mengkritik Hisyam diantaranya ialah Al Mirwadzi, katanya: Dia mengalami kegoncangan dalam hafalannya (Al-‘Ilal, hal 140 no. 247); juga oleh Ibnu Abi Hatim sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Al-Qaradhawi (Al-Jarh, IX/67); juga Shalih bin Muhammad dan Ibnu Warah (Fathul Mughits, III/379); Ada pula catatan lain dari Imam Ahmad tentang aqidahnya (Hisyam) tafadhal dirujuk di Al-Mizan, hal 9234; Ulama lain semisal Al-Mustamli juga memberikan catatan yang sama atas hal ini, lih. Adabul Imla’ wal istimla’, oleh As-Sam’ani I/104
[14] Tafadhal dibaca dalam kitabnya Al-Hadyus Saari Muqaddimah Shahih Al-Bukhari, hal 448-449
[15] Baca juga tulisan Syaikh Salim bin Ali Ats-Tsaqafi, profesor dari universitas Ummul Qura’ dalam kitabnya Ahkam Al-Ghina’ Wal Ma’azif, beliau menjelaskan dengan rinci tentang kritik para muhaddits terhadap Hisyam
[16] Hadits maushul ialah hadits yang bersambung sanad-nya sampai pada Nabi SAW
[17] Sejenis biji2-an (di masa kini mungkin pil) yang dimasukkan dalam nabidz (perasan kurma) untuk menguatkan rangsangannya
[18] Naylul Authar, VIII/267
[19] Aku (Syaikh Qaradhawi) berkata: Tapi aku belum mendapati sumber perkataannya (Asy-Syaukani) ini, waLLAAHu a’lam
[20] Saya (Abi AbdiLLAAH) menambahkan: Demikian juga yang dikatakan oleh Al-Hafizh Al-Iraqi –rahimahuLLAAH- tentang mengapa Imam Bukhari hanya menjadikan hadits ini sebagai ta’liq saja dalam kitab-nya, serta tidak menggunakan shighat jazm, lih. At-Taqyid wal Idhah, Al-‘Iraqi, I/90
[21] Saya (Abi AbduLLAAH) menambahkan: Bahkan para pen-syarah Shahih Al-Bukhari juga berbeda dalam menafsirkan makna ma’azif ini. 1) Imam Ibnu Hajar menjelaskan perbedaan makna ma’azif ini dalam kitabnya Al-Fath, dalam muqaddimmah-nya ia berkata artinya alat permainan (I/152, XI/259); kemudian soal hukum alat musik dalam bab ‘Ied ia berkata: Sebagian mengharamkannya dan sebagian menghalalkannya (III/371); 2) Al-‘Ayni pen-syarah lainnya atas kitab Shahih Al-Bukhari dalam kitabnya Al-Umdah, mengartikannya alat musik yang dipukul/ditabuh (XXV/168), juga bermakna alat permainan (XXXI/166); 3) Ibnu Baththal dalam kitab syarah-nya mengartikannya alat permainan (V/31); 4) Al-Kasymiri dalam Al-Faydh, mengartikannya lagu2/al-ghina’ (III/167), dalam bab yang lain ia menafsirkannya alat musik tiup (VII/97).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar